Powered by Chelsea F.W., William Sia, Felecia S., dan Catherine P.
 
Budaya cangkruk sangat melekat pada kehidupan masyarakat kita karena hampir semua orang melakukan budaya cangkruk. Kita bisa melihat dari berbagai kalangan, yaitu remaja, pekerja kantor, mahasiswa, sampai orang-orang tua juga menerapkan budaya cangkruk dalam kehidupan mereka. Apabila kita melihat lebih mendalam lagi, budaya cangkruk paling diminati oleh anak-anak muda, di mana kehidupan mereka terasa lebih bebas dan menyenangkan. Waktu yang dihabiskan oleh mereka untuk bercangkruk ria saja sudah menghabiskan berjam-jam, hanya untuk berbicara dan bercanda bersama. Apalagi kalau rutinitas cangkruk itu sudah sangat melekat dalam hidup mereka, anak-anak muda bisa bercangkruk ria setiap hari dalam seminggu, atau tiga kali seminggu. "Rasanya beda kalau ga cangkrukan", menurut berbagai pendapat anak-anak muda yang kita survey.

Namun, di sisi lainnya, budaya modernpun sudah sangat berkembang pesat dalam kehidupan sosial masyarakat. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi cukup mengubah gaya hidup masyarakat apalagi dari segi sosial. Hampir semua orang memiliki alat komunikasi, handphone, smartphone, tablet, dan lain-lain disertai dengan aplikasi-aplikasi chat dan sosial yang sangat mudah untuk didapatkan dan digunakan. Anak-anak mudapun pasti memiliki satu atau lebih gadget untuk berkomunikasi. Dengan adanya perkembangan teknologi ini saja, kita sudah bisa berkomunikasi dengan teman-teman kita dengan mudah, bisa lewat telepon, SMS, chatting, email, dan masih banyak lainnya. Hanya tinggal mengetik pesan yang ingin disampaikan lalu kirim saja ke kontak yang dituju. Sangat gampang kan? Budaya modern ini juga dapat membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih indiviual karena masyarakat sangat menyukai "kemudahan" dalam berkomunikasi, tidak perlu pergi jauh-jauh hanya untuk berkumpul. Cukup berada di sebuah ruangan, kita sudah bisa menyampaikan informasi ke kontak kita.

Namun, berdasarkan survey yang kami temukan adalah anak-anak muda sekarang lebih memilih budaya cangkruk daripada sekedar hanya berkomunikasi dengan gadget. "Rasanya kalau cangkruk itu kita bisa menghabiskan waktu itu lama banget, kalau cuma lewat handphone si paling cuma tiga puluh menit saja selesai.  Bedalah rasanya kalau kita bertemu langsung sama kita hanya via SMS atau chatting, cepat bosannya dan ga ada suasana pertemanannya.", pendapat M. Zuhri, mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945. Nodiah, remaja yang sudah bekerja sebagai supir juga setuju bahwa budaya cangkruk lebih melekat pada kehidupan anak muda zaman sekarang. "Lha, saya dan teman-teman malah menggunakan handphone untuk menentukan tempat dan waktu untuk cangkrukan malahan. Kalau cuma lewat handphone, paling kalau penting-penting saja."

Memang budaya cangkruk merupakan budaya yang sangat kental dalam kehidupan kita sehari-hari. Kitapun tidak mau melewatkan waktu luang kita hanya berkomunikasi lewat gadget, namun lebih menggunakan waktu yang ada untuk berkumpul bersama teman-teman dan berbicara banyak hal. Sebuah suasana kekeluargaan dan persaudaran yang sangat erat sangat terlihat dalam suatu komunitas yang suka cangkrukan. Dengan banyak orang dan berbeda-beda tempat tinggal, mereka rela untuk menuju ke sebuah tempat untuk bercangkruk meskipun tempatnya jauh. Kebanyakan orang sekarang malas untuk berpergian jauh hanya untuk bertemu dan kumpul-kumpul. Semakin berkembangnya budaya modern, kehidupan masyarakat akan semakin individual namun semakin berkembangnya budaya cangkru

Budaya modern memang sangat mempengaruhi kehidupan kita, namun budaya cangkruk masih dimiliki oleh masyarakat Surabaya terutama anak-anak muda. Bahkan mereka menggunakan gadget mereka untuk memeriahkan suasana cangkrukan mereka. Ayo rek budaya cangkruk itu ga hanya sekedar kumpul-kumpul, namun ada sebuah kisah yang seru dan unik dibaliknya. Salam cangkrukan!

 
Nyangkruk nggak harus mahal kan ? Hanya dengan modal Rp.5000,- pun kita bisa nyangkruk, rek! Dimana? Ya di TAMAN BUNGKUL!

Taman yang berlokasikan di jalan raya Darmo ini menjadi tempat yang cukup strategis buat anak-anak muda yang hobi cangkrukan. Kenapa tidak? Taman ini didominasi oleh anak-anak muda dengan kisaran usia 19-24 tahun yang lagi asik-asiknya menikmati semilirnya angin malam sambil ngobrol-ngobrol dengan arek-arek bahkan ada juga yang asik nge-date sambil ditemani cemilan-cemilan seperti krupuk sambal, tahu, dan makanan kecil lainnya yang bisa mengisi kekosongan perut sejenak. Ternyata, bagi mereka yang nyangkruk di Taman Bungkul yang sebagian besar berasal dari kota Surabaya dan sekitarnya memilih tempat terbuka yang dijadikan tempat sasaran cangkrukan yang asik, karena selain tidak membutuhkan biaya yang besar, mereka bisa ngobrol, diskusi pelajaran/pekerjaan, sambil kadang ngopi bareng atau bermain busa balon. Bahkan, dengan nyangkruk di tempat terbuka mereka bisa mengunjungi tempat itu bisa lebih dari 3 kali dalam seminggu, karena tempatnya mudah sekali dicapai. 

Menurut Gemilang Antariksa, salah satu penyangkruk yang berasal dari Klaten, Jawa Tengah pun sangat menggemari cangkrukan karena baginya cangkruk itu dibutuhkan oleh anak-anak muda “Bisa menambah wawasan dan utamanya adalah menambah jaringan pertemanan”,ujarnya. Berbeda dengan Gemilang, Alfiyan berpendapat,”Inspirasi seringkali datang saat lagi cangkrukan”. Dalam hal ini, selain bisa kumpul-kumpul bareng, dalam situasi tertentu cangkrukan bisa bermanfaat untuk mendapat ide atau inspirasi untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Hal ini memang benar terjadi, ketika lagi asik menikmati lingkungan cangkrukan di Taman Bungkul, di sudut taman tampak ada perkumpulan Sugar Glider Surabaya yang lagi asik ngobrol sambil terkadang memainkan sugar glider yang mereka miliki. Ternyata, Taman Bungkul merupakan base camp mereka untuk kumpul-kumpul sambil berdiskusi tentang sugar glider yang mereka miliki. Lagi, mengapa mereka memilih Taman Bungkul sebagi base camp mereka ? Menurut Gunawan Tan, salah satu anggota dari perkumpulan ini, “Karena tempat ini cukup strategis untuk mengumpulkan teman-teman karena kita kan nggak semuanya berasal dari Surabaya, jadi kalo disini kan di pusat kota, lebih gampang menemukannya”, ujarnya. Selain bisa jadi base camp buat perkumpulan, di Taman Bungkul ini ada arena bermainnya juga lho rek, ada juga yang berjualan mainan-mainan sederhana dan murah seperti kipas putar atau busa balon, pesawat-pesawatan, aksesoris, dan pastinya makanan minuman ringan. Harganya ? Murah meriah rek! Bener-bener pas buat dikantong anak muda.

Ternyata, nyangkruk nggak mesti mahal kan, rek? Berminat coba cangkrukan di Taman Bungkul ? Kenapa tidak! Salam cangkrukan!!

 
Budaya cangkruk memang merupakan sebuah gaya hidup yang dimiliki setiap orang. Tiap orangpun selalu memiliki kisah-kisah yang unik tentang cangkrukan mereka, entah itu pengalaman yang menyenangkan atau menyedihkan. Sebuah pengamatan yang cukup menarik di balik sebuah budaya "cangkruk" di mana kehidupan sosial seseorang sangat terlihat di sana. Relasi antar tiap orang dalam sebuah komunitas saat bercangkruk ria, menikmati waktu malam mereka dengan gaya mereka, dan menjadikan budaya cangkruk sebagai "rumah kedua" mereka.

Pengalaman yang dialami oleh seorang ibu bernama Ibu Nur yang menjadi pemilik warung kopi "Kampoeng Koffe" di Jalan Tenggilis Mejoyo Ai-33 merupakan salah satu cerita budaya cangkruk yang patut disimak. Menjadi seorang pemilik warung kopi juga menjadi bagian dari budaya "cangkruk" orang Surabaya terutama anak muda, ketika kita berbicara tentang cangkruk tidak sekedar berbicara tentang interaksi yang dilakukan oleh orang-orang yang bercangkrukan namun kita bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda, misalkan pemilik warung kopi dengan pelanggannya yang suka bercangkruk di warung kopinya.
Picture
Ibu Nur, pemilik dari Kampoeng Koffe, Jalan Tenggilis Mejoyo Ai-33, Surabaya
Pada awalnya, Ibu Nur mendirikan warung kopi "Kampoeng Koffe" ini berdasarkan dengan ide dan harapan kedua anaknya yang masih muda. Dengan segala kemampuannya, Ibu Nur pun mau membuka tempat untuk dijadikan warung kopi, tempat yang bisa dijadikan cangkrukan anak muda. Namun di sisi yang lain, Ibu Nur hanya mengelolanya sendirian tanpa bantuan orang lain. Cukup menjadi beban bagi seorang ibu rumah tangga sekaligus pengelola warung kopi miliknya. Akhirnya kedua anaknya pun bersedia untuk membantu ibunya ketika sampai di warungnya. Hal positif yang dirasakan kedua anak ini adalah mereka bisa bercangkruk ria di tempat ibunya sekaligus membantu ibunya. Teman-teman kedua anak ini juga merasakan hubungan yang luar biasa antara ibu Nur dan anaknya sehingga sangat sering teman-temannya pun ikut membantu Ibu Nur. Banyak hal dan ide yang diberikan kepada Ibu Nur untuk menciptakan suasana cangkruk yang nyaman di warungnya, misalnya pemasangan wifi, dekorasi ruangan dengan konsep tempo dulu, TV dan antena, karpet untuk lesehan, dan masih banyak hal lain lagi. Sepintas memang sangat banyak hal yang harus dipersiapkan dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun Ibu Nur berusaha untuk menyediakan yang terbaik untuk pelanggannya. "Yang penting saya melakukannya dengan hati tulus untuk memberikan yang terbaik buat mereka. Toh, mereka sangat merasa nyaman di sini sampai-sampai  mereka tidak mau berpindah dari tempat lain dan merasa bahwa ini adalah rumah kedua mereka." Faktanya adalah ketika tempat ini sangat penuh, mereka malah duduk di luar warung sambil lesehan dengan menggunakan karpet. 

Adanya hubungan relasi sosial yang sangat unik dalam budaya cangkruk tidak hanya terjadi begitu saja, namun mengalami proses yang sangat mendalam antar pribadi. Tidak hanya berbicara antara orang-orang yang bercangkrukan namun bisa dilihat hubungan antara ibu, anak, dan teman-teman mereka yang begitu dekat yang membuat mereka saling membangu dan memberikan ide dan aspirasi untuk kebaikan dan kepentingan bersama. Misalkan, Sebuah fakta yang cukup menarik bahwa berbagai kalangan dari mahasiswa berkumpul bersama di Kampoeng Koffe, misalkan dari ITS, Untag, dan Univ. Dr. Soetomo yang cukup jauh bahkan menghabiskan waktu bersama di sana. Mereka sangat merasa nyaman di sana untuk bercangkruk sambil melakukan berbagai hal yang mereka butuhkan. Perbedaanpun tidak menjadi sebuah masalah dalam bercangkruk, faktanya meskipun berbeda-beda kalangan namun akhirnya mereka bisa menjalin sebuah relasi bersama Bu Nur. 

Ide-ide yang diberikan pun sangat membuat usaha ini berkembang dengan cepat, melalui pemasangan sebuah spanduk yang memiliki desain yang menarik mata pengendara motor dan mobil, beberapa foto-foto suasana Surabaya zaman dahulu, dan lain-lain.

"Yah, saya bersyukur sekali kalau saya bisa menjadi seorang ibu yang bisa memenuhi kebutuhan sosial anak muda melalui bercangkruk, daripada saya membiarkan generasi muda sekarang untuk berpergian sembarangan, mengenal sesuatu yang tidak-tidak di luar sana. Akankah lebih baik saat mereka di sini bisa berkumpul, melakukan hal-hal yang bermanfaat?", pendapat Ibu Nur saat ia menjadi seorang ibu sekaligus pemilik warung kopi "Kampoeng Koffe".

Saat inilah kita belajar bahwa budaya cangkruk tidak hanya merupakan sekedar budaya biasa atau rutinitas yang kita lakukan, namun budaya cangkrukan sangat berarti untuk tiap-tiap orang dan pasti tiap orang memiliki kisah yang berbeda. 

    Artikel

    Artikel-artikel ini dibuat untuk mengenalkan budaya cangkruk yang sangat kental dalam kehidupan masyarakat Surabaya

    Archives

    October 2013
    September 2013

      Survey