Powered by Chelsea F.W., William Sia, Felecia S., dan Catherine P.
 
Budaya cangkruk memang merupakan sebuah gaya hidup yang dimiliki setiap orang. Tiap orangpun selalu memiliki kisah-kisah yang unik tentang cangkrukan mereka, entah itu pengalaman yang menyenangkan atau menyedihkan. Sebuah pengamatan yang cukup menarik di balik sebuah budaya "cangkruk" di mana kehidupan sosial seseorang sangat terlihat di sana. Relasi antar tiap orang dalam sebuah komunitas saat bercangkruk ria, menikmati waktu malam mereka dengan gaya mereka, dan menjadikan budaya cangkruk sebagai "rumah kedua" mereka.

Pengalaman yang dialami oleh seorang ibu bernama Ibu Nur yang menjadi pemilik warung kopi "Kampoeng Koffe" di Jalan Tenggilis Mejoyo Ai-33 merupakan salah satu cerita budaya cangkruk yang patut disimak. Menjadi seorang pemilik warung kopi juga menjadi bagian dari budaya "cangkruk" orang Surabaya terutama anak muda, ketika kita berbicara tentang cangkruk tidak sekedar berbicara tentang interaksi yang dilakukan oleh orang-orang yang bercangkrukan namun kita bisa melihat dari sudut pandang yang berbeda, misalkan pemilik warung kopi dengan pelanggannya yang suka bercangkruk di warung kopinya.
Picture
Ibu Nur, pemilik dari Kampoeng Koffe, Jalan Tenggilis Mejoyo Ai-33, Surabaya
Pada awalnya, Ibu Nur mendirikan warung kopi "Kampoeng Koffe" ini berdasarkan dengan ide dan harapan kedua anaknya yang masih muda. Dengan segala kemampuannya, Ibu Nur pun mau membuka tempat untuk dijadikan warung kopi, tempat yang bisa dijadikan cangkrukan anak muda. Namun di sisi yang lain, Ibu Nur hanya mengelolanya sendirian tanpa bantuan orang lain. Cukup menjadi beban bagi seorang ibu rumah tangga sekaligus pengelola warung kopi miliknya. Akhirnya kedua anaknya pun bersedia untuk membantu ibunya ketika sampai di warungnya. Hal positif yang dirasakan kedua anak ini adalah mereka bisa bercangkruk ria di tempat ibunya sekaligus membantu ibunya. Teman-teman kedua anak ini juga merasakan hubungan yang luar biasa antara ibu Nur dan anaknya sehingga sangat sering teman-temannya pun ikut membantu Ibu Nur. Banyak hal dan ide yang diberikan kepada Ibu Nur untuk menciptakan suasana cangkruk yang nyaman di warungnya, misalnya pemasangan wifi, dekorasi ruangan dengan konsep tempo dulu, TV dan antena, karpet untuk lesehan, dan masih banyak hal lain lagi. Sepintas memang sangat banyak hal yang harus dipersiapkan dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit, namun Ibu Nur berusaha untuk menyediakan yang terbaik untuk pelanggannya. "Yang penting saya melakukannya dengan hati tulus untuk memberikan yang terbaik buat mereka. Toh, mereka sangat merasa nyaman di sini sampai-sampai  mereka tidak mau berpindah dari tempat lain dan merasa bahwa ini adalah rumah kedua mereka." Faktanya adalah ketika tempat ini sangat penuh, mereka malah duduk di luar warung sambil lesehan dengan menggunakan karpet. 

Adanya hubungan relasi sosial yang sangat unik dalam budaya cangkruk tidak hanya terjadi begitu saja, namun mengalami proses yang sangat mendalam antar pribadi. Tidak hanya berbicara antara orang-orang yang bercangkrukan namun bisa dilihat hubungan antara ibu, anak, dan teman-teman mereka yang begitu dekat yang membuat mereka saling membangu dan memberikan ide dan aspirasi untuk kebaikan dan kepentingan bersama. Misalkan, Sebuah fakta yang cukup menarik bahwa berbagai kalangan dari mahasiswa berkumpul bersama di Kampoeng Koffe, misalkan dari ITS, Untag, dan Univ. Dr. Soetomo yang cukup jauh bahkan menghabiskan waktu bersama di sana. Mereka sangat merasa nyaman di sana untuk bercangkruk sambil melakukan berbagai hal yang mereka butuhkan. Perbedaanpun tidak menjadi sebuah masalah dalam bercangkruk, faktanya meskipun berbeda-beda kalangan namun akhirnya mereka bisa menjalin sebuah relasi bersama Bu Nur. 

Ide-ide yang diberikan pun sangat membuat usaha ini berkembang dengan cepat, melalui pemasangan sebuah spanduk yang memiliki desain yang menarik mata pengendara motor dan mobil, beberapa foto-foto suasana Surabaya zaman dahulu, dan lain-lain.

"Yah, saya bersyukur sekali kalau saya bisa menjadi seorang ibu yang bisa memenuhi kebutuhan sosial anak muda melalui bercangkruk, daripada saya membiarkan generasi muda sekarang untuk berpergian sembarangan, mengenal sesuatu yang tidak-tidak di luar sana. Akankah lebih baik saat mereka di sini bisa berkumpul, melakukan hal-hal yang bermanfaat?", pendapat Ibu Nur saat ia menjadi seorang ibu sekaligus pemilik warung kopi "Kampoeng Koffe".

Saat inilah kita belajar bahwa budaya cangkruk tidak hanya merupakan sekedar budaya biasa atau rutinitas yang kita lakukan, namun budaya cangkrukan sangat berarti untuk tiap-tiap orang dan pasti tiap orang memiliki kisah yang berbeda. 
10/12/2013 02:36:27 am

Ternyata budaya cangkrukan punya sisi kisah yang berbeda pula.. Informatif banget webnya :) An excellent web! Kunjungi juga ya web kami di kolonialtoilet.wix.com/home thank you :)

Reply



Leave a Reply.

    Artikel

    Artikel-artikel ini dibuat untuk mengenalkan budaya cangkruk yang sangat kental dalam kehidupan masyarakat Surabaya

    Archives

    October 2013
    September 2013

      Survey