Powered by Chelsea F.W., William Sia, Felecia S., dan Catherine P.
 
Welcome Back, Cangkrukers!

Hari ini menjadi hari yang menguntungkan sekaligus menyenangkan bagi kami. Mengapa? Karena kami, tim cangkruk berkesempatan mewawancarai salah satu ahli sosial-budaya yang tidak lain adalah dosen dari Departemen Mata Kuliah Umum (DMU) di UK Petra Surabaya, Pak Binsar M.Gultom. Selama kurang lebih 30 menit, alumnus S2 Ilmu Sosial di Unair Surabaya yang sekaligus berdarah Batak ini menceritakan dan menjelaskan secara gamblang pendapatnya mengenai cangkruk serta seluk beluk cangkruk di lingkup Surabaya dengan cara bicara yang sangat bersahabat. Yuk ikutin Q&A kami dengan Pak Binsar!

1.     Q: Bagaimana asal-usul adanya tradisi cangkruk di Surabaya?

A: Latar belakang budaya cangkruk yang pertama berasal dari julukan Kota Surabaya sebagai salah satu kota perdagangan besar di Indonesia, disertai dengan letak kota Surabaya yang terletak tepat di pinggir pantai dan dalam konteks ini Kota Surabaya banyak menjadi tujuan sehingga cenderung sifat egaliter nya kuat. Hal ini didasarkan dari bermacam-macam orang yang singgah di Kota Surabaya dari jaman dahulu.  Yang kedua, secara kultur yang perlu dipahami bahwa Kota Surabaya merupakan kota yang kuat kulturnya, dengan kata lain paling sedikit dipengaruhi oleh tradisi Kerajaan Mataram seperti kota-kota yang lain seperti Solo, Semarang, Jogja, dan sebagainya. Surabaya mempunyai kultur yang berbeda dengan kota-kota yang lain, pembedanya diantaranya adalah sistem egaliter yang artinya suatu sikap atau sifat yang mendudukan orang lain itu sama atau sederajat satu dengan yang lain, tidak ada pembeda antara satu dengan yang lain sehingga Surabaya tidak memakai bahasa sehari-hari yang memiliki tingkatan/strata seperti di kota Solo, Jogja, dan sebagainya. Masyarakat di Surabaya dalam kesehariannya bertemu dapat berbaur dengan yang lain. Sebagai contoh : masyarakat Surabaya jika memanggil orang lain semuanya sama dengan panggilan “Lek” yang merupakan singkatan dari “Pak lek” (dalam bahasa Indonesia :Paman). Tukang becak, teman, supir angkot, orang berjualan dipanggil dengan panggilan “lek”. Masyarakat Surabaya terkenal dengan tidak basa-basi dan polos, serta egaliter yang tinggi sehingga menempatkan derajat orang lain sama satu dengan yang lain.

2.     Q: Menurut Bapak, arti cangkrukan yang sebenarnya itu seperti apa?

A: Cangkrukan yaitu Public Spare atau ruang publik yang sangat cair. Dalam cangkrukan, orang dapat ngomong apa saja yang mereka inginkan, tidak mengenal tempat, dan tidak ada ketersinggungan.

3.     Q: Apa yang menyebabkan cangkruk bisa melekat dengan kebudayaan orang Surabaya? Apa yang membedakan cangkruk dengan budaya nongkrong?

A: Pada dasarnya, cangkrukan adalah sederhana, tidak pernah direncanakan, tidak membutuhkan banyak modal. Dahulu, Orang Surabaya bercangkruk ria di ujung-ujung gang. Ini terkait dengan tata letak Kota Surabaya yang mempunyai banyak kampung.  Interaksi di antara kampung ke kampung menjadi dekat sehingga setiap hari perjumpaan tersebut menjadi intensif, cangkruk menjadi wadah untuk mereka berbicara apapun yang mereka inginkan. Berbagai ekspresi ada dalam bahasa cangkrukan tersebut, ada ekspresi netral, senang, dan marah. Dalam konteks modern ini, cangkruk mulai digantikan dengan “hang out” di kafe-kafe, di circle K. Hang out di cafe berbeda dengan cangkruk dalam arti sebenarnya. Karena sifat cangkruk merupakan kegiatan yang tidak direncanakan, tidak butuh modal, dan tidak mempunyai strata tertentu. Sementara apabila kita berkumpul di suatu tempat contohnya kafe dan sebagainya, itu bukan lagi cangkruk. Karena direncanakan, butuh modal, dan tidak bisa seenaknya (seperti duduk di lantai, tiduran, ngomong harus diatur, dsb)

4.     Q: Apakah cangkruk merupakan fenomena sosial yang ada di masyarakat?

A: Cangkruk merupakan suatu fenomena yaitu sebagai wahana komunikasi, pusat sosialisasi, pusat informasi, dan juga sebagai hiburan. Cangkruk dianggap sebagai wahana komunikasi dan sosialisasi dari Arek Suroboyo yang tidak dapat dipungkiri karena dengan cangkrukan kita bisa ngobrol apapun dengan tema apapun (menjadi kearifan lokal). Selain itu, cangkruk merupakan pusat informasi dimana semua berita dan kabar terbaru atau yang sedang ngetren bisa saja diketahui saat cangkrukan. Cangkruk juga bisa berfungsi sebagai hiburan karena dengan cangkrukan bisa sejenak merilekskan pikiran kita dengan segala kepenatan. Sebagai tambahan lagi, cangkruk dapat menjadi pusat ketahanan sosial di suatu kota, misalnya ada pendatang baru di suatu kampung yang kira-kira mirip dengan seorang buronan teroris, namun karena bergesernya cangkruk menjadi hang out di cafe-cafe. informasi tersebut tidak dapat tersebar luas ke masyarakat karena cangkruk tidak lagi dilakukan di kampung melainkan di cafe sehingga pembicaraan yang ada dalam hang out tersebut bukan mengenai kampung, tetapi tentang hal yang lain.

 

5.     Q: Terakhir, apa pesan Bapak mengenai cangkruk itu sendiri ?

A: Cangkrukan merupakan refleksi dari keberadaan orang Surabaya yang egaliter, produk dari Kota Surabaya yang multi-kultur, sehingga untuk orang-orang yang berasal dari luar Surabaya tidak boleh melihat sesuatu dari perspektif sendiri (etnosentrisme) karena bagaimanapun setiap daerah memiliki tradisi kebudayaannya masing-masing.

Demikian wawancara singkat kami dengan Pak Binsar mengenai budaya cangkruk di Surabaya. Buat para cangkrukers yang tertarik dengan profil Pak Binsar lebih lanjut bisa follow official twitternya lho @BinsarMGultom. Sekian untuk Q&A kami, tetap update terus di YokCangkrukRek ya!

8/9/2022 09:06:08 pm

Terima kasih informasinya!

Reply
10/6/2022 03:58:53 pm

Thanks for nice information

Reply



Leave a Reply.

    Artikel

    Artikel-artikel ini dibuat untuk mengenalkan budaya cangkruk yang sangat kental dalam kehidupan masyarakat Surabaya

    Archives

    October 2013
    September 2013

      Survey